ORANG PERORANGAN DAN BADAN HUKUM SEBAGAI SUBJEK HUKUM DAN PERBEDAANNYA

A. SUBJEK HUKUM ORANG PERORANGAN
Seorang individu manusia menurut pandangan umum dianggap sebagai subjek hukum ketika ia sudah dilahirkan. Pandangan umum ini kemudian oleh KUH Perdata dalam pasal 2 nya diperluas dimana manusia yang masih berada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan setiap kali kepentingan si anak menghendakinya (kecuali ia mati sewaktu dilahirkan, maka ia dianggapnya tidak ada). Melihat dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang manusia yang masih dalam kandungan merupakan subjek hukum dan karena ia dianggap sebagai subjek hukum, ia memiliki kepentingan (hak dan kewajiban) yang mana salah satunya adalah hak untuk dilahirkan.

Seorang manusia sebagai subjek hukum pada dasarnya dapat melakukan suatu perikatan / perbuatan hukum kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perikatan tersebut. Ketentuan kecakapan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1330 KUH perdata dimana orang – orang berikut ini dianggap tidak cakap melakukan perikatan:
1. Anak yang belum dewasa
Menurut pasal 330 KUH Perdata, seseorang dianggap telah dewasa jika ia berumur 21 tahun atau sudah pernah menikah.
2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Menurut pasal 433 KUH Perdata, mereka yang di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap (meskipun ia terkadang dapat dengan cakap menggunakan pikirannya) dan juga yang seorang pemboros.
3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
Ketentuan Pasal 1330 ayat 3 di atas dan ketentuan-ketentuan lain yang sejenis yang terdapat dalam KUH Perdata kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebab Pasal 31 UU Pernikahan No. 1 tahun 1974 telah menegaskan bahwa 1) kedudukan antara istri dan suami seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan-pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan 2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

B. SUBJEK HUKUM BADAN HUKUM

Badan hukum diakui keberadaannya oleh hukum Indonesia melalui Pasal 1653 KUH Perdata. Dari Pasal tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa badan hukum itu sendiri merupakan:
1. perhimpunan orang-orang;
2. yang didirikan berdasarkan suatu kekuasaan umum atau yang diakui oleh badan hukum tersebut sebagai kekuasaan umum; dan
3. didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Secara umum menurut KUH Perdata, karakteristik dari suatu badan hukum antara lain adalah:
1. dapat melakukan perbuatan-perbuatan perdata (Pasal 1654);
2. diwakili oleh pengurusnya untuk melakukan tindakan hukum (Pasal 1655);
3. para anggota badan hukum tidak bertanggung jawab atas perjanjian badan hukum tersebut dan hutang dari badan hukum tersebut hanya dapat dibayarkan melalui harta harta benda badan hukum tersebut (Pasal 1661); dan
4. badan hukum tetap ada meskipun semua pengurusnya menginggal dunia dan hanya dapat dibubarkan melalui cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1662).

Meskipun sebuah badan hukum dapat melakukan perbuatan-perbuatan perdata, namun tidak semua perbuatan perdata dapat dilakukan oleh semua badan hukum. Salah satu contohnya adalah untuk memiliki hak milik atas tanah. Hal ini dikarenakan menurut Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria, hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia dan badan hukum khusus yang ditentukan oleh pemerintah. Selain itu ada juga perkawinan yang harus dilakukan oleh seorang pria dan wanita (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) dan pewarisan yang hanya dapat dilakukan karena kematian (Pasal 830 KUH Perdata) dimana sebuah badan hukum tidak mengalami kematian hanya pembubaran.
Lebih lanjut, kecakapan badan hukum untuk melakukan perbuatan perdata dapat dicabut. Salah satu contohnya adalah ketika badan hukum tidak diperbolehkan melakukan perbuatan perdata yang berkaitan dengan harta kekayaan badan hukum yang termasuk dalam harta pailit sesuai dengan putusan pengadilan (Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor 37 Tahun 2004). Dalam hal tersebut, pengurusan badan hukum akan dilakukan oleh kurator (Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor 37 Tahun 2004). Pada intinya, sebuah badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan perdata yang tidak diperbolehkan oleh hukum.
Bentuk-bentuk badan hukum menurut hukum Indonesia adalah Perseroan Terbatas (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007), Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001) dan Koperasi (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992). Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi sebagai badan hukum memiliki perbedaan dengan Persekutuan Perdata, Firma dan Persekutuan Komanditer (CV) sebagai badan usaha bukan badan hukum dimana Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi memiliki pemisahan harta kekayaan yang jelas antara anggota dan badan hukum itu sendiri.

C. PERBEDAAN SUBJEK HUKUM ORANG PERORANGAN DENGAN BADAN HUKUM

Berdasarkan penjelasan orang perorangan dan badan hukum sebagai subjek hukum, maka perbedaan dari keduanya adalah sebagai berikut:

1. Orang perorangan dianggap sebagai subjek hukum dan memiliki hak dan kewajiban pada saat ia berada dalam kandungan sampai ia meninggal. Suatu badan hukum dapat melaksanakan hak dan kewajibannya segera setelah ia berstatus badan hukum yang ketentuan pemberian status ini diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2. Orang perorangan dapat bertindak atas dirinya sendiri dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga. Badan hukum tidak dapat bertindak sendiri dan oleh karenanya ia diwakili oleh pengurus badan hukum tersebut dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga.
3. Harta kekayaan pemilik badan hukum terpisah dari harta kekayaan badan hukum itu sendiri, sedangkan orang perorangan sebagai subjek hukum tidak memiliki ketentuan pemisahan ini.
4. Ketidakcakapan orang perorangan sebagai subjek hukum dalam melakukan perikatan adalah apabila ia belum dewasa dan berada dalam pengampuan. Badan hukum dianggap tidak cakap lagi melakukan perikatan apabila ia dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang sah dan tidak diperbolehkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata yang tidak diperbolehkan oleh hukum Indonesia.
5. Pihak yang berwenang mewakili orang perorangan yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang tua atau wali (untuk mereka yang belum dewasa) dan pengampu (untuk yang berada di bawah pengampuan) yang ditetapkan oleh pengadilan negeri dalam daerah hukum tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan. Bagi badan hukum yang dinyatakan pailit, pihak yang berwenang mewakili badan hukum dalam melaksanakan perbuatan hukum adalah kurator yang diangkat oleh pengadilan niaga.

Oleh: Wahyu & Andre